ORDE LAMA
Dalam Bidang Ekonomi
Indonesia terletak di posisi
geografis antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah
posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan
sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat
Malaka ke India. Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut
Tengah, ada yang ke laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah
(Van Leur). Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada
abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan
daerah-daerah di Barat (kekaisaran Romawi). Perdagangan di masa
kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme
politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya
di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat
dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan
kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis
produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang
“mampir”.
Penggunaan uang yang berupa koin
emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai
dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah
di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter banyak
berlangsung dalam oloni perdagangan Internasional. Karenanya, tidak terjadi
surplus atau olonia yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari
luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan.Hal itu
disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari
perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan
perniagaan. Di masa pra olonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan.
Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan
perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan
hingga saat ini.
Seusai masa kerajaan-kerajaan
Islam, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam empat
masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa
penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah
menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda,Inggris, dan Jepang. Portugis
tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh
Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan
berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa sejarah
perekonomian Indonesia, rasanya perlu membagi masa pendudukan Belanda menjadi
beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang mereka
berlakukan di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia saat itu).
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
Belanda yang saat itu
menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia Belanda.
Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan
tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus
untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris).
Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC
diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi :
1. Hak mencetak uang
2. Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
3. Hak menyatakan perang dan damai
4. Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
5. Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC.
1. Hak mencetak uang
2. Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
3. Hak menyatakan perang dan damai
4. Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
5. Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC.
Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya
menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu
rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya
adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum membangun
sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan
yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil
bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung
monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap
tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah
yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan
tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya
diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran
niaga samudera Hindia.
Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC
akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor
dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu
kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di
masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050
metrik
Namun, berlawanan dengan
kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda
justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi.
Karena selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai
komoditi imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan
dalam jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai
tahun 1870-an.
Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal
dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada
defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh :
a. Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh VOC
dan memakan biaya besar, terutama perang Diponegoro.
b. Penggunaan tentara sewaan membutuhkan biaya
besar.
c. Korupsi yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
d. Pembagian dividen kepada para pemegang saham,
walaupun kas defisit.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek).
Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat oleh blokade Inggris di Eropa.
Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh republik Bataaf (Bataafsche Republiek).
Republik Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat oleh blokade Inggris di Eropa.
Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris
mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.
Pendudukan
Inggris (1811-1816)
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India.
Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India.
Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah
jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi
daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Sesuai dengan teori-teori mazhab
klasik yang saat itu sedang berkembang di Eropa, antara lain :
a. Pendapat Adam Smith bahwa
tenaga kerja produktif adalah tenaga
kerja yang menghasilkan benda konkrit dan dapat dinilai pasar, sedang tenaga
kerja tidak produktif menghasilkan jasa dimana tidak menunjang pencapaian
pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Inggris menginginkan tanah jajahannya juga
meningkat kemakmurannya, agar bisa membeli produk-produk yang di Inggris dan
India sudah surplus (melebihi permintaan).
b. Pendapat Adam Smith bahwa
salah satu peranan ekspor adalah memperluas pasar bagi produk yang dihasilkan
(oleh Inggris) dan peranan penduduk dalam menyerap hasil produksi.
c. The quantity theory of money bahwa
kenaikan maupun penurunan tingkat harga dipengaruhi oleh jumlah uang yang
beredar.
Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam
perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir
kekuasaan Inggris yang Cuma seumur jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya
antara lain :
a. Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta
huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk menghitung luas tanah yang kena
pajak.
b. Pegawai pengukur tanah dari Inggris sendiri
jumlahnya terlalu sedikit.
c.
Kebijakan ini kurang
didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau mengakui suksesi
jabatan secara turun-temurun.
Cultuurstelstel
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Sistem ini merupakan pengganti sistem landrent
dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat
diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke
gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah
ditentukan oleh pemerintah. Cultuurstelstel melibatkan para bangsawan dalam
pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik Mataram–yaitu
kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak mendapat
imbalan–dan memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten (imbalan
yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang masuk gudang).
Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu
cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja
rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai
mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan
tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu
meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa
masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke
Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi
lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan
kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya, dengan menerapkan cultuurstelstel,
pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa
sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah
Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk
menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya yang kian besar itu
meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih (Karl Marx), bahwa
nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai kapitalis.
Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib
warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda
untuk mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang
baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk
jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak
boleh. Hal ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik,
antara lain terlihat pada :
a. Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai
tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai golongan
kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah
c. Laissez faire laissez passer, perekonomian
diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang
peran yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.
Pendudukan
Jepang (1942-1945)
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.
2.Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh. Inflasi yang sangat tinggi ,disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
b. Adanya
blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu
perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajaha
Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
a. Program
Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
b. Upaya
menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan
perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan
tujuan ke Singapura dan Malaysia.
c. Konferensi
Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah
produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan-perkebunan.
d. Pembentukan
Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
e.
Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha
swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan
swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat
: sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
3.Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi
masalah ekonomi, antara lain :
a. Gunting Syarifuddin, yaitu
pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang
yang beredar agar tingkat harga turun.
b. Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu
upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar
bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang
tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta
memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat
berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal,
karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing
dengan pengusaha non-pribumi.
c. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank
Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai
bank sentral dan bank sirkulasi.
d. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali
Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan
kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha
pribumi. Pengusaha
non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan
pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman,
sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e. Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB,
termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Akibatnya
banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha
pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
4.Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme).
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme).
Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang
diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi
Indonesia, antara lain :
a. Devaluasi
yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang
kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp
100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b. Pembentukan
Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia
dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi
perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c. Devaluasi
yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp
1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah
lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih
tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah
meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah
karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini
banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai
akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali
lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi
terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis)
baik dalam politik, eKonomi, maupun bidang-bidang lain.
Dalam Bidang Politik
kebijakan politik terhadap sistem
demokrasi dan ideologi negara, kebijakan politik terhadap kebebasan pers, dan
kebijakan politik terhadap aksi demonstrasi mahasiswa
Orla dan Soekarno
sebagai simbolnya, menitikberatkan menjawab tantangan 'ke luar'. Bisa
dimengerti, karena persoalan Indonesia sebagai sebuah negara yang baru
merdeka adalah bagaimana memantapkan nation building agar bisa eksis,
diakui dan tidak terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan luar yang amat
berkepentingan dengan' kekayaan' Indonesia, terutama Kapitalisme - waktu
itu dikenal istilah Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (NEKOLIM).
sebagai simbolnya, menitikberatkan menjawab tantangan 'ke luar'. Bisa
dimengerti, karena persoalan Indonesia sebagai sebuah negara yang baru
merdeka adalah bagaimana memantapkan nation building agar bisa eksis,
diakui dan tidak terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan luar yang amat
berkepentingan dengan' kekayaan' Indonesia, terutama Kapitalisme - waktu
itu dikenal istilah Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (NEKOLIM).
Dalam Bidang Militer
Perjuangan untuk memperoleh dan
mempertahankan kemerdekaan berakhir pada saat Pemerintah Kerajaan Belanda dan
pemerintah revolusi Indonesia, yang dipimpin Soekarno, melakukan negosiasi
penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Pasca penyerahan
kedaulatan dari Pemerintah Kerajaan Belanda ke tangan Pemerintah Indonesia,
muncul beberapa perubahan yang cukup signifikan dalam bidang sosial, politik,
dan ekonomi di Indonesia.
Perubahan ini setidaknya juga mempunyai dampak terhadap perubahan pola aktivitas bisnis TNI dari yang sekedar memenuhi kebutuhan logistik, anggaran, dan prajurit menjadi aktivitas bisnis yang dapat mendatangkan keuntungan. Walaupun militer Indonesia diketahui telah memainkan aktivitas bisnisnya sejak awal masa kemerdekaan namun baru pada tahun 1957 peranan ini dilembagakan seiring dengan diterapkannya status negara dalam keadaan darurat ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Belanda dalam persoalan status Irian Barat.
Demontrasi anti Belanda yang terjadi pada saat itu telah membuka jalan bagi militer untuk mengambil alih keadaan. Termasuk mengambil alih kontrol seluruh perusahaan milik Belanda, dimana hal ini juga didukung oleh kebijakan pemerintah yang menasionalisasi seluruh perusahaan asing yang ada di Indonesia.
Kebijakan nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia dikukuhkan melalui UU No 86 Tahun 1958. Sedangkan yang ditugasi oleh pemerintah dalam rangka mengatur dan mengawasi jalannya proses nasionalisasi di Indonesia adalah Mayor Jendral AH Nasution sebagai Penguasa Perang Pusat.
Berdasarkan pada kebijakan yang berlaku pada saat itu semua perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi kemudian diawasi dan dijalankan oleh tentara Angkatan Darat (AD) yang ditunjuk untuk menjabat sebagai Penguasa Perang Pusat Daerah. Hali ni didasarkan atas dalih agar perusahaan-perusahaan tersebut tidak jatuh ke tangan kekuasaan komunis.
Perubahan ini setidaknya juga mempunyai dampak terhadap perubahan pola aktivitas bisnis TNI dari yang sekedar memenuhi kebutuhan logistik, anggaran, dan prajurit menjadi aktivitas bisnis yang dapat mendatangkan keuntungan. Walaupun militer Indonesia diketahui telah memainkan aktivitas bisnisnya sejak awal masa kemerdekaan namun baru pada tahun 1957 peranan ini dilembagakan seiring dengan diterapkannya status negara dalam keadaan darurat ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Belanda dalam persoalan status Irian Barat.
Demontrasi anti Belanda yang terjadi pada saat itu telah membuka jalan bagi militer untuk mengambil alih keadaan. Termasuk mengambil alih kontrol seluruh perusahaan milik Belanda, dimana hal ini juga didukung oleh kebijakan pemerintah yang menasionalisasi seluruh perusahaan asing yang ada di Indonesia.
Kebijakan nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia dikukuhkan melalui UU No 86 Tahun 1958. Sedangkan yang ditugasi oleh pemerintah dalam rangka mengatur dan mengawasi jalannya proses nasionalisasi di Indonesia adalah Mayor Jendral AH Nasution sebagai Penguasa Perang Pusat.
Berdasarkan pada kebijakan yang berlaku pada saat itu semua perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi kemudian diawasi dan dijalankan oleh tentara Angkatan Darat (AD) yang ditunjuk untuk menjabat sebagai Penguasa Perang Pusat Daerah. Hali ni didasarkan atas dalih agar perusahaan-perusahaan tersebut tidak jatuh ke tangan kekuasaan komunis.
Dalam Bidang Ideologi
- Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi
- Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966
- Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam
- Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting).
- Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI
Dalam Bidang Sosial
1.
Terjadi pemutusan hubungan
kerja secara sepihak sehingga menimbulkan pengangguran
2.
Banyak ketidak adilan dalam
bidang hukum
3.
Terjadi kesenjangan sosial
yang cukup tajam antara golongan kaya dan golongan miskin
|